Kulhad, Gelas Tanah Liat Tradisional yang Bertahan Melawan Dominasi Gelas Sintetik

Kulhad adalah pot yang dibuat secara manual dari tanah liat, dan seni membuat kulhad telah ada sejak akhir Peradaban Lembah Indus di India. PHOTO: chaisuttabarindia

INDIA, NETIZENBALI.COM - Di India, kulhad gelas tanah liat tradisional telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya minum chai selama berabad-abad. Dibuat dengan teknik yang telah ada sejak Peradaban Lembah Indus, kulhad menawarkan pengalaman unik bagi penikmat teh, aroma tanah yang khas serta sensasi autentik yang tak bisa didapat dari wadah plastik atau kaca.

Kulhad, gelas tanah liat tradisional India tetap menjadi simbol budaya yang bertahan. Digunakan untuk menyajikan chai panas dan makanan penutup seperti yogurt, kulhad membawa cita rasa khas yang lebih "alami" berkat pori-pori tanah liatnya yang memungkinkan cairan meresap sedikit ke dalam materialnya.

Menurut narasumber dari media Culture Insider, kulhad bukan hanya sekadar wadah, tetapi juga cerminan tradisi yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. "Kulhad adalah bagian dari identitas budaya kita. Meski plastik dan kertas mulai mendominasi, kulhad tetap memiliki tempat khusus di hati masyarakat," ujar seorang perajin kulhad di Kolkata.

Namun, perjalanan mempertahankan tradisi ini tidaklah mudah. Para pengrajin menghadapi tantangan besar, mulai dari kondisi kerja yang keras hingga persaingan dengan bahan sintetis yang lebih murah. "Kami bekerja keras setiap hari, tetapi kami bangga menjaga tradisi ini tetap hidup," tambah Jayaprakash Prajapati perajin Kulhad.

Seorang pengusaha muda, Anubhav Dubey, melihat potensi yang lebih besar dari sekadar menyajikan chai dalam kulhad. Ia mendirikan Chai Sutta Bar, sebuah waralaba kedai teh yang menggunakan kulhad sebagai bagian dari identitasnya. Langkah ini tidak hanya memberikan nuansa nostalgia bagi masyarakat India, tetapi juga membuka peluang ekonomi bagi komunitas perajin tanah liat yang selama ini mengalami kesulitan ekonomi.

"Kulhad adalah simbol ekonomi berbasis kerajinan dan keberlanjutan," kata Vandana Shiva, seorang aktivis lingkungan. Dubey menghidupkan kembali tradisi ini dengan membeli kulhad langsung dari perajin lokal, membantu mereka mendapatkan penghasilan yang lebih stabil. Kini, dengan penjualan harian mencapai 4,5 juta kulhad, bisnisnya telah meningkatkan kesejahteraan para pembuat tembikar dan membawa warisan India ke panggung global.

Meski klaim bahwa kulhad lebih ramah lingkungan dan sehat belum sepenuhnya didukung oleh sains, banyak yang percaya bahwa gelas tanah liat ini adalah alternatif yang lebih baik dibandingkan plastik. "Kulhad adalah pilihan yang lebih baik untuk lingkungan, tetapi kita perlu mendukung pengrajin agar tradisi ini tidak hilang," kata seorang aktivis lingkungan.

Dengan harga sekitar 1 rupee atau setara dengan 200 rupiah, kulhad tetap menjadi pilihan yang terjangkau bagi banyak orang. Namun, apakah tradisi ini dapat bertahan di tengah tantangan modernitas? Hanya waktu yang akan menjawab. (NB)


TAGS :

Related Articles

- Bupati Adi Arnawa Dukung Diskusi Nasional SMSI Badung tentang Pariwisata Berkualitas

- ‘Margadarshakah’ Gambelan Beleganjur Bali Jadi Tren Velocity di Tiktok

- Pawai Ogoh-Ogoh PAUD di Jembrana, Ajang Tanamkan Budaya Sejak Dini

- SMSI Badung Temui Ketua DPRD, Fokus pada Masa Depan Pariwisata Bali

- Pemkab Jembrana Luncurkan Layanan Jemput Pasien, Cek Syaratnya

Komentar